Cerita Angkot Kalapa – Dago #AngkotDay

Seperti yang udah saya post sebelumnya, jadi akhir-akhir ini saya lagi ikutan jadi volunteer sebuah proyek sosial yang bernama #AngkotDay. Untuk penjelasan lebih detail mengenai #AngkotDay bisa dilihat di post saya sebelumnya. Sebagai relawan yang akan bekerja sebagai co-driver, saya bersama tim sekelompok saya mendapatkan tugas dari jenderal Agam ( korlap #AngkotDay ) untuk melihat kondisi lapangan dulu sebelum bekerja di hari H dengan cara menaiki angkot Kalapa-Dago dari ujung-ke ujung, pulang pergi.

Sticker  konyol di Angkot Kalapa-Dago
Sticker konyol di Angkot Kalapa-Dago

Setelah gagal melaksanakan misi di hari Senin karena lupa bahwa ada jadwal kuliah yang diganti, akhirnya misi berhasil saya lakukan pada hari rabu kemarin besama Kak Dena. Kelompok saya sendiri untuk sementara ini terdiri dari 2 orang, yakni Kak Dena yang sedang menempuh magister lingkungan di Unpad sekaligus bekerja sebagai Announcer di RASEFM dan satunya lagi Pak Dwi yang dulunya juga bekerja sebagai announcer namun kini telah sepenuhnya mengajar. Kami berangkat dari Boromeus dengan menggunakan Kalapa-Dago sekitar pukul 10.45 WIB

Jujur sebelum naik Kalapa-Dago hari itu, saya tidak tahu letak terminal Kalapa itu dimana, kalau terminal Dago sih saya sudah tahu karena deket dari kampus. Jadi tugas saya dihari itu bukan sekedar naik angkot, tapi yang lebih penting adalah mengamati dan juga mewawancarai sopir angkot. Awalnya saya agak bingung sih bagaimana cara basa-basi dengan sopir angkot, tapi akhirnya hal tersebut berhasil saya lakukan dengan kalimat pembuka “Kalau sampe Kalapa biasanya berapa lama lagi ya a’ ? ” . Hal paling sulit dalam sebuah pembicaraan adalah pembuka, setelah pembuka itu ada, maka selanjutnya pun mengalir seperti air

Sopir dari angkot yang saya naiki dari Dago ke Kalapa bernama Eri. Saya taksir umurnya sekitar 28 tahunan, yang terlihat dari perawakannya yang masih muda. Kang Eri udah menjadi sopir dari Kalapa-Dago sejak 9 tahun lalu setelah bengkel tempatnya bekerja di jual oleh sang pemilik sehingga mengharuskan ia untuk mencari pekerjaan lain. Awal mula menjadi sopir angkot karena diajak oleh salah seorang temanya. Selama 9 tahun menjadi sopir angkot, Kang Eri mengatakan bahwa jumlah pengguna angkot mengalami penurunan yang drastis. Jika dulu penumpang yang mencari angkot, maka kini yang terjadi adalah angkot yang mencari penumpang.

Kalau dibagi berdasarkan perilakunya, ada banyak sekali tipe sopir angkot, Ada yang ramah dan baik, tapi ada juga tipe yang suka marah. Kang Eri menurut saya adalah tipe sopir yang ramah dan menghormati penumpang. Setiap kali meminta penumpaang untuk bergeser, ia selalu mengawali kalimatnya dengan kata “punten” dengan nada yang rendah sehingga tidak terkesan menyuruh. Demikian pula ketika ada penumpang yang kurang dalam membayar tarif angkot, ia akan mengawali kelimatnya dengan kata “punten“, hal yang sangat berbeda dari yang biasanya saya temui ketika naik angkot CIsitu-Dago dimana sopir seringkali meminta tambahan pembayaran dengan nada yang tinggi. Dalam hal ini penumpang memang salah, namun cara yang digunakan untuk meminta uang tambahan juga sebaiknya dilakukan dengan cara yang baik.

Seperti kebanyakan sopir lain, Kang Eri adalah seorang perokok. Seperti hanya sopir lain pula, ia merokok ketika sedang bertugas mengantarkan penumpang. Ketika sedang merokok, Kang Eri meletakkan tangan kananna diluar pintu angkot, jadi asap yang berasal dari puntung rokok tidak masuk ke dalam angkot, walaupun ketika merokok tentunya asapnya masih masuk ke dalam angkot. Kebiasaan sopir untuk merokok ketika dijalan memang cukup sulit untuk dihilangkan karena sebagaimana pecandu rokok yang lain, seringkali mereka beralasan bahwa merokokbisa membuat mereka menjadi tenang.

Setelah angkot berjalan selama 30 menit 25 detik, akhirnya saya sampai juga di Terminal Kalapa.  Saya baru tahu jika terminal Kalapa itu letaknya di deket alun-alun Kota Bandung. Bentuk terminalnya sih cukup sederhana, hanya sebuah jalan yang diujungnya terdapat tempat berhenti angkot sesuai dengan jurusan masing-masing layaknya Bus jika berada di Terminal. Praktis jika dilihat terminal Kalapa memang dikhususkan untuk angkutan kota.

Udah bonceng tiga, gapake helm pula. Indonesia
Udah bonceng tiga, gapake helm pula. Indonesia

Disebelah kanan dari Terminal Kalapa ada ITC Kalapa. Sebuah pusat perbelanjaan yang menurut Kak Dena sudah sepi dan jarang penugnjungnya. Kami mempir sejenak ke sebuah outlet kecil di pojok ITC yang menjual berbagai macam jam tangan karena kak Dena ingin mengganti tali jam tangannya yang sepertinya sudah agak lama dipakai.

Kami tidak langsung balik setelah sampai di Kalapa karena akan terlihat mencurigakan ( sok jadi intel :p ) sehingga kami memutuskan untuk pergi ke Masjid Alun-Alun Kota Bandung. Kak Dena bercerita bahwa menara yang ada di Masjid Alun-Alun bisa dinaiki sehingga saya pun tertarik untuk mencoba. Maklum selama ini saya belum pernah naik tower-tower macam gituan. Setelah sampai ke alun-alun, kami baru tahu kalau ternyata lift untuk naik ke atas tower hanya dibuka di hari Sabtu dan Minggu. Karena hari udah masuk ke dalam waktu Dhuhur, kami memutuskan untuk sholat terlebih dahulu sebelum akhirnya kembali ke Kalapa- Dago.

Berbeda dari Kang Eri, sopir Kalapa-Dago yang kami naiki untuk kembali ke Dago merupakan seorang bapak-bapak. Saya sebenarnya cukup pesimis bisa mengajak si bapak bicara, karena bapaknya kelhatannya serem, hahaha. Namun setelah setengah perjalanan, akhirnya saya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan dengan kalimat “Biasanya dijalan sini macet ya pak ?” yang dijawab oleh Bapaknya “ya biasa aja sih mas, ngga bisa dibilang macet juga cuman agak lambat jalannya ” Sebuah pertanyaan yang bodoh memang karena saya sendiri pun tahu kalau jalan sedang berada dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan macet, namun apapun itu, akhirnya saya bisa mengajak bapaknya untuk berbicara.

Bapak sopir yang saya ajak bicara ini ternyata berasal dari suku Batak, aslinya dari Medan. Ketika saya tanyakan sudah berapa lama menjadi sopir angkot, beliau berkata bahwa beliau sudah 5 kali berganti SIM, jadi silahkan dihitung aja. Beliau bercerita bahwa beban biaya hidup sekarang sudah mengikat namun disisi lalin pendaptan sopir cenderung tetap atau bahkan turun. Beliau adalah seorang yang pintar, beliau tahu mengenai program subsidi BBM yang coba ditawarkan untuk angkot namun masih terkendalan masalah di kekhawatiran akan disalahgunakan oleh para sopir dimana para sopir bisa menjual kembali BBM yang mereka beli dengan harga yang lebih mahal.

Pengetahuan beliau tentang negeri ini sangat luas. Beliau bercerita tentang Ternate, Ambon, NTT, Flores, NTB, Lampung, tentang sifat-sifat suku-suku di Indonesia, juga tentang kecatikan wanita negeri ini, hehehe. Beliau mengaku bahwa beliau adalah sopir yang bodoh. Ia tidak telaten melhat gang-gang jika ada penumpang seperti halnya sopir lain sehingga seringkali ia membawa angkot dengan jumlah penumpang yang hanya 1 atau 2 orang. Beliay juga mengaku bahwa beliau bukanlah seorang yang berani. Ia tidak berani menahan lampu hijau di BIP dalam artian berhenti menunggu penumpang di perempatan BIP walaupun lampur sudah hijau karena beliau tahu itu bia menganggu ketertiban arus lalu lintas. Meskipun di perempatan BIP adalah pusat  dari penumpang.

Hari itu penumpang yang naik ke angkot beliau dari Kalapa hingga ke perempatan BIP cuman 3 orang, sehingga akhirnya kita ngetem cukup lama di setelah peremptan BIP hingga angkot penuh. Setelah angkot penuh akhirnya kita melanjutkan perjalanan kembali hingga saya turun di depan RS Boromoeus.

Well, perjalanan yang singkat tapi memberikan banyak hal baru kepada saya. Kayaknya mesti nyoba trek angkot-angkot yang lain biar tahu banyak tempat di Bandung. Semoga suatu saat bisa 😀

Published by

Ahmad Faiz Nasshor

A digital marketing enthusiast who loves writing about his beautiful religion and random thouhgts. Currently work at NoLimit ID as Senior Analyst. Always curious to learn new things and the last thing that interest him is cooking. Why not ?

Leave a comment